Selasa, 05 Agustus 2008

Sejarah Timor Timur




Sejarah Timor Timur berawal dengan kedatangan orang Australoid dan Melanesia. Orang dari Portugal mulai berdagang dengan pulau Timor pada awal abad ke-16 dan menjajahnya pada pertengahan abad itu juga. Setelah terjadi beberapa bentrokan dengan Belanda, dibuat perjanjian pada 1859 di mana Portugal memberikan bagian barat pulau itu. Jepang menguasai Timor Timur dari 1942 sampai 1945, namun setelah mereka kalah dalam Perang Dunia II Portugal kembali menguasainya.

Pada tahun 1975, ketika terjadi Revolusi Bunga di Portugal dan Gubernur terakhir Portugal di Timor Leste, Lemos Pires, tidak mendapatkan jawaban dari Pemerintah Pusat di Portugal untuk mengirimkan bala bantuan ke Timor Leste yang sedang terjadi perang saudara, maka Lemos Pires memerintahkan untuk menarik tentara Portugis yang sedang bertahan di Timor Leste untuk mengevakuasi ke Pulau Kambing atau dikenal dengan Pulau Atauro. Setelah itu FRETILIN menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan Timor Leste sebagai Republik Demokratik Timor Leste pada tanggal 28 November 1975. Menurut suatu laporan resmi dari PBB, selama berkuasa selama 3 bulan ketika terjadi kevakuman pemerintahan di Timor Leste antara bulan September, Oktober dan November, Fretilin melakukan pembantaian terhadap sekitar 60.000 penduduk sipil (sebagian besarnya wanita dan anak2 karena para suami mereka adalah pendukung faksi integrasi dengan Indonesia). Berdasarkan itulah, kelompok pro-integrasi kemudian mendeklarasikan integrasi dengan Indonesia pada 30 November 1975 dan kemudian meminta dukungan Indonesia untuk mengambil alih Timor Leste dari kekuasaan FRETILIN yang berhaluan Komunis.

Tiga Kuburan Masal sebagai bukti pembantaian FRETILIN terhadap pendukung integrasi terdapat di Kabupaten Aileu (bagian tengah Timor Leste), masing-masing terletak di daerah Saboria, Manutane dan Aisirimoun.

Xanana Gusmão
Xanana Gusmão

Ketika pasukan Indonesia mendarat di Timor Leste pada tanggal 7 Desember 1975, FRETILIN memaksa ribuan rakyat untuk mengungsi ke daerah pegunungan untuk dijadikan tameng hidup atau perisai hidup (human shields) untuk melawan tentara Indonesia. Lebih dari 200.000 orang dari penduduk ini kemudian mati di hutan karena penyakit dan kelaparan. Banyak juga yang mati di kota setelah menyerahkan diri ke tentara Indonesia, namun Tim Palah Merah International yang menangani orang-orang ini tidak mampu menyelamatkan semuanya.

Selain terjadinya korban penduduk sipil di hutan, terjadi juga pembantaian oleh kelompok radikal FRETILIN di hutan terhadap kelompok yang lebih moderat. Sehingga banyak juga tokoh-tokoh FRETILIN yang dibunuh oleh sesama FRETILIN selama di Hutan. Semua cerita ini dikisahkan kembali oleh orang-orang seperti Francisco Xavier do Amaral, Presiden Pertama Timor Lesta yang mendeklarasikan kemerdekaan Timor Leste pada tahun 1975. Seandainya Genderal Wiranto (pada waktu itu Letnan) tidak menyelamatkan Xavier di lubang tempat dia dipenjarakan oleh FRETILIN di hutan, maka mungkin Xavier tidak bisa lagi jadi Ketua Partai ASDT di Timor Leste Sekarang.

Selain Xavier, ada juga komandan sektor FRETILIN bernama Aquiles yang dinyatakan hilang di hutan (kemungkinan besar dibunuh oleh kelompok radikal FRETILIN). Istri komandan Aquilis sekarang ada di Baucau dan masih terus menanyakan kepada para komandan FRETILIN lain yang memegang kendali di sektor Timur pada waktu itu tentang keberakaan suaminya. Hal yang sama juga dilakukan oleh kelompok pro-kemerdekaan terhadap tentara Indonesia tentang keberadaan komandan Konis Santana dan Mauhudu yang dinyatakan hilang di tangan tentara Indonesia.

Selama perang saudara di Timor Leste dalam kurun waktu 3 bulan (September-November 1975) dan selama pendudukan Indonesia selama 24 tahun (1975-1999), lebih dari 200.000 orang dinyatakan meninggal (60.000 orang secara resmi mati di tangan FRETILN menurut laporan resmi PBB). Selebihnya tidak diketahui apakah semuanya mati kelaparan atau mati di tangan tentara Indonesia. Hasil CAVR menyatakan 183.000 mati di tangan tentara Indonesia karena keracunan bahan kimia (tidak dirinci bagaimana caranya), namun sejarah akan menentukan kebenaran ini, karena keluarga yang sanak saudaranya meninggal di hutan tidak bisa tinggal diam dan kebenaran akan terungkap apakah benar tentara Indonesia yang membunuh sejumlah jiwa ini ataukah sebaliknya. Situasi aktual di Timor Leste akhir-akhir ini adalah cerminan ketidak puasan rakyat bahwa rakyat tidak bisa hidup hanya dari propaganda tapi dari roti dan air. Rakyat tidak bisa hidup dari "makan batu" sebagaimana dipropagandakan FRETILIN selama kampanye Jajak Pendapat tahun 1999 "Lebih baik makan batu tapi merdeka, dari pada makan nasi tapi dengan todongan senjata". Kenyataan membuktikan bahwa "batu tidak bisa dimakan", dan rakyat perlu makanan yang layak dimakan manusia.

Pada 30 Agustus 1999, dalam sebuah referendum yang diadakan PBB, sebagian besar rakyat Timor Timur memilih merdeka dari Indonesia. Antara waktu referendum sampai kedatangan pasukan perdamaian PBB pada akhir September 1999, kaum anti-kemerdekaan yang konon didukung Indonesia mengadakan pembantaian balasan besar-besaran, di mana sekitar 1.400 jiwa tewas dan 300.000 dipaksa mengungsi ke Timor barat. Sebagian besar infrastruktur seperti rumah, sistem irigasi, air, sekolah dan listrik hancur. Pada 20 September 1999 pasukan penjaga perdamaian International Force for East Timor (INTERFET) tiba dan mengakhiri hal ini. Pada 20 Mei 2002, Timor Timur diakui secara internasional sebagai negara merdeka.


Tidak ada komentar: