Selasa, 09 September 2008

Masjid Merah yang Masih “Merah”

ImageTragedi pembantaian di Masjid Merah (Masjid Lal), Islamabad memang sudah berlalu. Namun, trauma, aroma amis darah dan kegetiran masih terasa di sekeliling lingkungan masjid.

Selasa, 10 Juli tahun 2007 lalu, sejak dini hari, aparat keamanan selangkah demi selangkah mendekati komplek Masjid Merah di jantung kota Islamabad, Pakistan. Tapi serangannya memerlukan waktu dan lebih sulit dari yang diperhitungkan.

Ratusan santri dan kelompok bersenjata berat, melancarkan perlawanan sengit. Selama sepekan mereka menjadikan Masjid Merah dan madrasah yang terletak di kompleksnya sebagai benteng.

Setelah dua hari, operasi penyerangan berakhir. Diperkirakan 800 orang -termasuk para santri- tewas akibat serangan tentara Pakistan yang bersandi Operasi Siluman itu. Di antara korban tewas terdapat Maulana Abdul Rasheed Ghazi, wakil pemimpin Masjid Merah -seorang tokoh yang bersama abangnya, Imam Masjid Merah Abdul Aziz Ghazi, menjadi musuh Musharraf.

Jumlah korban yang mencapai 800-an itu sungguh luar biasa meski pejabat pemerintah hanya menyebut angka korban mencapai 200 lebih. Namun, seorang relawan Pakistan, Abdus Sattar Edhi, kala itu sempat menerima permintaan pemerintah untuk menyiapkan 800 kantong mayat, padahal sebelumnya ia sudah mengirim 300 kantong.

Berdasarkan laporan-laporan setempat, Presiden Pakistan Jenderal Pervez Musharraf, dinilai sejumlah pihak melakukan tindakan nekad dengan mengizinkan pasukan keamanannya menyerang Masjid Merah yang dikuasai kelompok militan Islam. Keputusan itu dibuatnya dalam sebuah pertemuan bersama pejabat senior pemerintah.

Penyerbuan brutal militer Pakistan itu dipicu ketegangan akibat perlawanan dan unjuk rasa anti-pemerintah yang digelar pengurus Masjid Merah, pada awal Juli 2007. Ketegangan tersebut berujung pada perlawanan bersenjata oleh pengurus masjid.

Tak terima dengan perlakuan takmir masjid, sepekan kemudian, militer Pakistan datang menggempur dan secara brutal menembaki siapa saja yang berada di lingkungan masjid. Tak pelak, korban pun berjatuhan, kebanyakan wanita dan anak-anak.

Tragedi pembantaian itu memang telah berlalu. Namun, peristiwa keji itu masih menyisakan trauma mendalam bagi warga Islamabad yang kerap melaksanakan shalat di Masjid Merah.

Abdul Rehman, warga setempat yang selama 15 tahun melaksanakan shalat di Masjid Merah mengatakan, bayang-bayang kematian dan pertumpahan darah senantiasa menghantuinya. “Setiap kali saya berangkat shalat ke masjid, saya merasakan ketakutan yang luar biasa. Seperti ada sesuatu di sana yang tak bisa dilihat, namun hanya bisa dirasakan,” katanya kepada IslamOnline.

Setelah serangan itu, selama beberapa malam Rehman tak dapat tidur nyenyak. Tiap kali mencoba menutup mata, bayang-bayang kengerian menghantuinya. “Saya tidak tahu apakah mereka yang melakukan tindakan brutal itu bisa tidur nyenyak atau tidak?” ujarnya.

Meski pemerintah telah mengecat ulang warna masjid dari merah menjadi hijau pasca operasi militer, Rehman merasa masjid itu masih berwarna merah. “Mungkin mata tak dapat melihat lumuran darah itu lagi. Namun hati dapat merasakannya.”

Seperti para jamaah masjid lainnya, Sabohi Khanun juga merasakan desingan peluru dan rintihan korban tewas masih berdengung di telinganya. “Masyarakat sekitar masih mengingat dengan baik teriakan para santri Masjid Merah yang meregang nyawa. Gelimpangan mayat anak-anak dan wanita masih terbayang di pelupuk mata masyarakat,” tutur Khanum, sarjana lulusan sebuah akademi di Islamabad.

Bagi Khanum, bayangan buruk tragedi Masjid Merah akan selalu menghantui masyarakat, setidaknya hingga keadilan menyapa roh para korban. Jika orang-orang yang bertanggungjawab dalam serangan Masjid Merah belum diadili, maka fenomena seperti Masjid Merah akan ditemui dimana-mana. “Para pelaku, termasuk Musharraf mesti diseret ke pengadilan. Jika tidak, fenomena bom bunuh diri di Pakistan takkan menemui akhir,” kata Khanum.

Seluruh tokoh yang terlibat dalam serangan Masjid Merah hingga kini masih banyak yang duduk di pemerintahan. Inilah yang menyulut balas dendam masyarakat. Kelompok-kelompok militan Islam menyatakan perang terhadap pemerintahan Presiden Musharraf dan melakukan serangan balasan, dengan tembakan senjata maupun bom bunuh diri. Serangan ini tak hanya diarahkan ke titik-titik pemerintahan di wilayah baratlaut Pakistan yang menjadi basis kelompok militan saja, namun juga dilakukan di kota-kota besar semisal Islamabad dan Karachi.

Banyak analis politik yang meyakini tragedi berdarah Masjid Merah begitu berpengaruh terhadap konstelasi politik Pakistan dewasa ini. “Serangan mengerikan itu tidak hanya merubah politik Pakistan saja, namun juga menghembuskan sentimen anti-Amerika Serikat secara luas,” kata Sajjad Mir, pengamat politik yang berdomisili di Karachi.

Kenangan buruk Masjid Merah takkan terhapus hanya dengan mengganti warna bangunannya. Walau kini masjid itu berwarna hijau, sejatinya ia masih tetap “merah”.

Tidak ada komentar: